Sabtu, 17 Oktober 2009

( tentagga yg baik hati )

Di kampung halaman kami dahulu, di sebuah desa bernama Sarimatondang
di Sumatera Utara, ada tradisi yang saya sangat sukai. Kami anak-anak
menyebutnya kebiasaan kirim-mengirim. Kalau tiba Tahun Baru, di
kampung kami yang mayoritas penduduknya beragama Kristen itu biasanya
kami mengirimkan kue-kue buatan orang tua kami (kembang loyang,
dodol, kue bakar, kacang tojin, wajik Bandung dst) kepada tetangga-
tetangga muslim. Mereka sebenarnya tak bisa kami sebut tetangga
karena mereka tinggal agak jauh, berseberangan kampung. Tetapi
pekerjaan 'mengirim' itu kami lakoni dengan senang hati.

Yang kami kirimi kue-kue itu biasanya adalah kawan-kawan muslim yang
mempunyai pertalian sosial dengan kami. Apakah karena mereka adalah
langganan tempat kami belanja sayur-mayur atau pecal, teman sejawat
orang tua kami, tukang membetulkan rumah kalau bocor, kawan sekolah
kami, dan sebagainya.

Sebagai balasannya, nanti pada Hari Raya, kami akan mendapatkan lagi
kiriman dari tetangga Muslim itu. Aneka rupa isi kiriman itu. Kembang
loyang, dodol dan sejenisnya tetap ada. Tetapi para tetangga Muslim
itu, yang banyak juga diantaranya kawan-kawan dari bersuku Jawa,
biasanya lebih kreatif. Maka seringkali juga ada lontong sayur,
getuk, kue lapis, nagasari dan sejenisnya.

Sesama kami anak-anak biasanya saling membanggakan jumlah kiriman
yang kami terima. Memang seringkali berbeda jumlahnya antar satu
rumah dengan rumah lainnya. Jumlah kiriman itu secara tidak langsung
menggambarkan seberapa luas relasi kita dengan tetangga Muslim.

Di Jakarta, saya mendapati pengalaman yang unik. Saya sebagai anggota
komunitas baru di sekitar rumah, di desa Sarua, Ciputat, bertetangga
dengan sebuah keluarga muslim yang, dari pengamatan saya, sangat
taat. Sama seperti keluarga saya, mereka baru memiliki seorang putra.
Semula saya sudah was-was. Sebagai seorang kristen yang kadang-kadang
merasa minoritas di Jakarta ini, dalam hati saya sering berpikir-
pikir, wah, bakal ada masalah nggak sama ini tetangga. Apakah dia
akan cukup nyaman bertetangga dengan saya yang selain kristen, Batak
lagi. (Istilahnya, minoritas ganda).

Ternyata kebalikannya. Tetangga kami itu demikian ramah. Mereka yang
pertama menyapa kami, bahkan datang bertamu. (Wah, saya jadi malu,
padahal, kami yang seharusnya datang memperkenalkan diri).
Belakangan, istri-istri kami jadi demikian akrabnya. Berboncengan
naik motor mereka belanja ke mana-mana. Dan, yang membuat saya agak
terenyuh, suatu hari si Ibu tetangga itu bahkan menjelaskan kepada
istri saya begini. "Bu, kapan-kapan kita ke pasar X yuk. Di sana
kalau beli daging murah-murah dan masih segar. Daging Babi juga ada
di sana. Kalau mau beli ke sana saja. Nanti kita bareng ya.."

Belakangan ini, ada lagi kebiasaan tetangga baru kami itu yang
membuat kami sekeluarga (yang hobinya makan)makin ternanti-nanti.
Beberapa kali saat berbuka puasa, kami juga mendapat kiriman hidangan
berbuka puasa. Unik-unik. Kadang-kadang ada onde-onde yang tidak
terbuat dari ketan melainkan dari tepung ubi.

Kala lain, lontong sayur yang ada baksonya. Kalau pisang molen, entah
sudah berapa kali mampir di rumah kami. Kalau mengingat kata istri
saya bahwa si ibu tetangga itu sebenarnya nggak pintar masak (dan
mereka sering belajar sama-sama bikin masakan tertentu), pastilah
kiriman si ibu tetangga itu datangnya dari tempat lain juga. Entah
itu dari sanak saudaranya yang sering berkunjung ke rumah mereka atau
mungkin dia beli.

Tentu saja, kami juga harus cukup tahu diri. Istri saya yang pernah
bekerja di sebuah restoran, kadang-kadang berinisiatif juga
mengirimkan masakannya kepada tetangga kami itu. Sebetulnya, kirim-
mengirim ini sudah agak berlangsung lama, jauh sebelum bulan puasa.
Kalau suami si Ibu tadi tugas ke luar kota, ketika kembali ke
Jakarta, si Ibu tadi sering pula membagi oleh-oleh si Bapak kepada
kami. Sebaliknya, manakala saya ke luar kota, istri saya juga tidak
lupa membagikannya kepada mereka.

Tiap kali saya menikmati 'kiriman' dari sang tetangga, saya merasa
bersyukur dan merasa bangga sebagai orang Indonesia. Indonesia yang
begini luas, begini beragam penduduknya, begitu kaya budaya dan
tradisinya ternyata bukan hanya diisi oleh orang-orang yang membuat
kita merasa malu sebagai orang Indonesia seperti yang sering kita
saksikan di tayangan-tayangan televisi tentang para koruptor dan
pelaku kriminal.

Orang-orang baik di Indonesia masih ada dan saya kira masih banyak.
Kebiasaan-kebiasaan baik dan kebiasaan-kebiasaan luhur juga masih
dapat kita temukan dalam keseharian kita. Dan, itu bukan di tempat-
tempat yang kita anggap seharusnya tempat orang untuk berbuat baik,
seperti di tempat-tempat ibadah.

Tetapi di dekat-dekat kita, di tetangga kita, di jalanan yang mungkin
kita lalui setiap hari dan juga mungkin di tempat kita mencari
nafkah.

Kebaikan-kebaikan kecil yang kami nikmati dari tetangga itu ternyata
menghasilkan banyak lagi kebaikan-kebaikan besar di kemudian hari.
Kami pernah lupa mengunci pintu pagar ketika bepergian. Dan tetangga
kami menguncikannya sambil mengirimkan SMS kepada istri saya
memberitahu bahwa mereka sudah menguncikan pintu pagar kami. Kala
lain, ada ular tiba-tiba masuk ke rumah mereka dan si Ibu berteriak
lewat jendela rumah kami meminta tolong. Kami kemudian bersama-sama
meminta tolong kepada tukang ojek yang lewat untuk menolong kami
(sebab diantara kami sendiri tidak ada yang berani menangkap ular).

Saya lantas berujar dalam hati, alangkah bangganya kita menjadi
bangsa Indonesia jika setiap hari kita dapat mengisi kebaikan-
kebaikan dengan sesama. Tidak perlu dengan kebaikan-kebaikan besar.
Kebaikan-kebaikan kecil, kemurahan-kemurahan yang kelihatannya remeh
temeh, pada saatnya akan sangat berarti menjadikan kita sebagai
bangsa yang besar. Sungguh saya bangga jadi orang Indonesia. Anda
juga, bukan?

-Ranie- ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar