Sabtu, 17 Oktober 2009

artikel

Baru-baru ini saya harus bertandang ke sebuah kedutaan besar salah satu negara Eropa untuk mengajukan Visa. Walaupun saya mengajukan Visa selalu dalam posisi ‘nothing to loose’ - karena berhubungan dengan tugas kerja, jadi kalaupun tidak dapat ya tidak apa-apa - tetapi saya tetap kurang suka menjalani prosesnya. Memang, prosesnya dan level pelayanan di kedutaan berbeda dari negara ke negara - ada negara besar yang ternyata pelayanan kedutaannya sangat ramah, namun ada juga negara lain yang pelayanannya sangat tidak menyenangkan.
Contohnya saja, apa yang saya lihat tiga minggu lalu, di kaunter pelayanan Visa sebuah negara ex-Eropa Timur. Ada dua orang Indonesia, yang rupanya terinspirasi oleh berbagai buku petualangan backpacking ke Eropa, sehingga mereka ingin berwisata ke negara ini. Dua wanita ini kelihatan biasa saja, dan terlihat dari golongan mampu. Sesudah menyerahkan formulis isian, membayar bea, dan menyerahkan dokumen pendukung, mereka pun disuruh (bukan diminta) menunggu. Lalu, tak berapa lama kemudian, ibu-ibu galak yang bertindak menjadi resepsionis, dengan gaya yang arogan, berteriak (bukan meminta dengan sopan) agar wanita pertama mendekat karena akan diadakan ‘interview’. “Mengapa mau ke negara A?” katanya dengan galak, dengan sorot mata garang seperti polisi yang sedang menginterogasi maling ayam dengan tubuh penuh tato.“Mau wisata, mau jalan-jalan aja” jawab sang wanita tadi, dengan sorot mata malu-malu, seperti maling ayam dengan tubuh penuh tato yang sedang diinterogasi polisi.“Emang kenapa harus ke negara A? Kok nggak ke negara lain?!” kata sang interviewer lagi, masih dengan gaya seorang hakim yang menginterogasi koruptor yang baru saja diputar rekaman pembicaraannya ketika menerima suap. “Mmm… Saya dengar negara A bagus untuk wisata, jadi saya ingin liat saja…” jawab sang wanita, seperti seorang koruptor yang diinterogasi hakim setelah diputar rekaman pembicaraannya waktu menerima suap.“Kenapa sih mau ke negara A? Apa bener nih, cuma mau jalan-jalan?” cecar sang interviewer, bagai anggota KPK yang baru saja menggerebek rumah jaksa dan menemukan uang 6 milyar hasil jual permata. “Betul Bu, saya cuma ingin jalan-jalan….” Jawab sang wanita sambil makin ‘mengkeret’, bagai seorang jaksa yang baru digerebek KPK dan berusaha meyakinkan bahwa uang 6 milyar itu adalah hasil jual permata. Akhirnya, setelah puas menginterogasi, sambil membanting dokumen ke mejanya, sang interviwer pun membentak: “Ya sudah! Tunggu saja! Kalau Visanya jadi, nanti dipanggil!” katanya. Sang wanita tadi pun kembali ke tempat duduknya. Interview kedua pun dimulai, dengan gaya yang sama. Dan, seolah belum cukup, ketika melihat kedua wanita tadi tidak pulang, melainkan menunggu di kedutaan, sang interviewer cum resepsionis membentak lagi dengan lantang “Saya sudah bilang sekarang PULANG! Nanti kita telepon kalau Visanya jadi!”. Dan, seperti umumnya warna negara Indonesia yang taat hukum, kedua wanita tersebut pun terbirit-birit meninggalkan ruang tunggu kedutaan bagian Visa yang dingin, kelam, dan berdebu. Kok bisa ya, kita sudi diperlakukan seperti itu? Kalau saya, untuk liburan diinterogasi seperti maling ayam kaya gitu, saya akan langsung membatalkan rencana saya. Saya akan bilang “Maaf ya, saya kan berwisata mau membawa devisa untuk negara Anda? Jadi, kalau perlakuannya begini, nggak jadi ah! Mending saya buang uang saya di tempat lain!” kira-kira begitu. Tapi, herannya, banyak orang Indonesia kok ya rela dikuyo-kuyo, dihina, ditelantarkan, dan diinjak-injak di kedutaan asing, dipaksa bayar mahal termasuk fiskal, hanya demi untuk melihat negara lain. Lalu pulang pun berbangga, ”Saya baru ke Jepang lho” atau ”Ini waktu kemarin saya di Perancis”. Mengapa kita tidak pernah membanggakan ”Saya dari Medan lho, wah durennya enak!” atau ”Ini daging sei dari Timor, mantap!”. Mengapa kita begitu tergila-gila pada wisata di luar negri? Mengapa kita bangga kalau punya judul “Dengan $ 1000,- keliling Eropa”, dan tidak bangga dengan pernyataan “Dengan $ 1000,- keliling Indonesia - gak perlu pake melarat lagi!” Nah, dibulan Agustus ini, saya ingin mengingatkan lagi tentang indahnya negara tempat kita tinggal. Mungkin kita tertipu oleh pemberitaan asing yang selalu mengagung-agungkan keindahan negara mereka sendiri. Mungkin kita percaya pada pemberitaan internasional bahwa Indonesia adalah negara yang tidak aman, penduduknya kasar, dan sering kerusuhan. Kita lupa, bahwa kita pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, murah senyum, dan menerima tamu dengan tangan terbuka. Kita lupa, bahwa Indonesia dengan keramahannya, dengan senyumnya, masihlah Indonesia yang sama - tempat kita lahir, tempat kita berbakti. Jadi, kalau Anda punya budget untuk jalan-jalan dalam waktu setahun, ayo, sisihkan sedikit untuk satu-dua kali berwisata di dalam negri! Mau ke Manado, Medan, Malang, atau Makassar, yang penting Mak Nyuss dan Mak Nyess di hati, karena sudah sedikit berbakti pada negri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar