Bekerja dan bersekolah. Dua hal itu melekat pada masa kecil Jan S Aritonang.
Sejak duduk di kelas IV SD, Aritonang telah belajar mencari uang. Di depan rumah kakeknya di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, ia sering menggelar dagangan dari kebun kakeknya. Seminggu sekali, pukul 03.00 dini hari, ia ikut menjual hasil bumi ke pasar. Saat duduk di SMP, Aritonang pernah bekerja sebagai tukang sapu. Ia pernah bekerja pedagang asongan, kernet mobil angkutan, sampai penarik becak. Akan tetapi, satu hal tidak pernah ditinggalkannya: bersekolah.
"Meski pagi-pagi sekali harus berangkat ke pasar, apa pun saya harus cepat-cepat pulang supaya bisa bersekolah pada pukul 07.00. Sekalipun sejak kecil sudah dilepas cari makan sendiri, tetapi tetap harus bersekolah. Itu tak hanya berlaku pada diri saya, tapi juga bagi anak-anak Batak lainnya," kata Aritonang yang kini menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi,Jakarta.
Aritonang adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ibunya petani. Ayahnya pernah bergabung menjadi tentara, kemudian pindah menjadi pegawai pada Kementerian Penerangan, sebelum akhirnya,berwiraswasta.
Ayahnya mendidiknya dengan keras. Bila ada angka merah di rapornya, bisa-bisa ia disetrap, tidak diberi makan atau dicambuk. Sebaliknya, bila memperoleh nilai bagus, tidak segan-segan ayahnya memberi hadiah baju baru, memotong ayam, atau sekadar mengajak jalan-jalan.
Batak merupakan salah satu etnis di Tanah Air yang sangat menjunjung tinggi nilai pendidikan anak. Anak, bagi orang Batak, merupakan harta yang paling berharga, kehormatan, sekaligus kekayaan bagi orang tuanya. Pemahaman ini yang mendorong warga etnis Batak mendidik dan berupaya agar anak-anaknya bisa memperoleh pendidikan setinggi mungkin.
"Baik yang tinggal di kota maupun di kampung, orang Batak akan mengerahkan kemampuan
Finansialnya untuk pendidikan anak-anaknya," kata Aritonang.
Pendidikan di rumah
*Orang Batak juga berusaha menjaga keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan pendidikan dalam keluarga.
Melalui pendidikan keluarga itulah nilai- nilai kerja keras, pantang menyerah, dan keuletan dita namkan. Nilai-nilai itu pula yang ditanamkan Aritonang dalam mendidik anak-anaknya.
Aritonang mengaku tak mengalami kesulitan mendidik anak-anaknya. Ketika ketiga anaknya masih kecil, mereka tanpa disuruh belajar sendiri, juga tanpa harus didampingi. Sesekali saja ia turun tangan ketika anaknya mengalami kesulitan. Ketika nilainya kurang bagus ia membimbing bagaimana bisa lebih sistematis dalam belajar.
"Meski tidak harus mendampingi, saya tidak pernah tidak peduli terhadap pendidikan anak-anak saya," kata Aritonang.
Dalam mendidik anak-anaknya, ia mengaku tak pernah menggunakan kekerasan. Ia juga tak memaksakan anaknya kelak akan menjadi apa. "Yang dibutuhkan anak adalah perhatian, bukan pengendalian yang ketat, apalagi pemaksaan," ujarnya.
Cara itu terbukti cukup berhasil. Ketiga anaknya masuk di universitas negeri yang terbaik Anak bungsunya kini mengambil kuliah di Institut Teknologi Bandung. Anak keduanya, menyelesaikan program studi S2 dalam usia 23 tahun dengan indeks prestasi 3,92.
Tidak ada yang gratis
* Seperti halnya tradisi dalam keluarga Tionghoa, Sofyan Tan –tokoh masyarakat Tionghoa di Medan-mendidik anak-anaknya, khususnya anak pertamanya, dengan keras.
Anak-anaknya diharuskan membuat target juara dan bila target itu tercapai mereka diberi hadiah.
Sofyan tidak memberikan uang jajan kepada anak-anaknya secara cuma-cuma. Uang jajan hanya diberikan sebagai kompensasi nilai ujian yang bagus. Untuk tiap nilai yang bagus memperoleh Rp 5.000. Khusus untuk nilai matematika dan sains yang bagus memperoleh Rp 20.000. Demikian pula bila anaknya ingin memiliki telepon genggam atau play station. Barang-barang itu hanya bisa dimiliki sebagai hadiah bila target juara kelas tercapai.
"Biar ada motivasi bahwa untuk mencapai sesuatu harus pakai perjuangan. Dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang gratis," kata Sofyan.
Di tengah kesibukannya, Sofyan sebisa mungkin mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah. Dalam perjalanan itu Sofyan punya kesempatan berbincang-bincang santai dengan keempat anak nya. Secara intensif Sofyan berkomunikasi dengan anak-anaknya, baik melalui telepon atau pesan elektronik singkat. Istrinya sehari-hari mendampingi anak-anak di rumah. Untuk mengakrabkan hubungan dengan anaknya, pada akhir pekan ia selalu mengajak keluarganya makan bersama di luar. Di sinilah ia bisa efektif mengobrol santai dengan anak.
Dari Senin sampai Jumat, anak-anaknya tidak bermain di luar. Sama seperti kebanyakan anak-anak dari keluarga keturunan Tionghoa lainnya, keempat anak Sofyan mengikuti berbagai macam les: dari kesenian, bahasa asing, sampai matematika. Sofyan mengaku tidak membuat jadwal ketat jam berapa anak-anaknya harus belajar karena mereka bisa mengatur diri mereka sendiri. Hanya anaknya yang paling kecil saja, Davin (9), yang masih diawasi.
Putri pertamanya, Tracy (18), baru-baru ini berangkat ke Inggris untuk mengambil persiapan masuk ke universitas. Rencananya ia akan mengambil Bidang Studi Matematika di Universitas Cambridge. Putri keduanya, Cindy, yang mempunyai bakat melukis ingin mendalami desain grafis. Felix (14), anaknya ketiga, ingin meneruskan jejak ayahnya menjadi dokter.
Pengaruh orangtua
* "Tidak ada faktor tunggal yang memengaruhi keberhasilan dan etos kerja seorang anak," kata Dr Eri Seda, sosiolog dari Universitas Indonesia.
Menurut Eri, keberhasilan, etos kerja, dan semangat belajar seorang anak sangat bergantung pada kultur dan keteladanan orangtua. "Orangtua boleh omong macam-macam tapi yang dilihat anak adalah tingkah lakunya. Bila orangtua bekerja keras dari pagi sampai malam, tanpa harus membe rikan wejangan sekalipun, anak akan meniru kerja keras. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya," kata Eri Seda.
Menurut Ketua Program Pascasarjana Sosiologi UI itu, disiplin, etos kerja, keuletan merupakan nilai-nilai yang bisa ditumbuhkan dalam keluarga. Sekolah hanya bisa meleng kapinya. Karena itu, Eri menekankan pentingnya interaksi di dalam rumah tangga dijaga.
Sedekat apa pun hubungan seseorang, bila tidak dijaga dengan kegiatan bersama dantidak ada komitmen satu sama lain maka interaksi antar anggota keluarga bisa berjauhan. Inter aksi kurang baik dalam keluarga menimbulkan berbagai persoalan sosial, seprti penyalah gunaan narkoba, pergaulan bebas, perselingkuhan, sampai masalah pendidikan anak.
Akan tetapi, tambahnya, meski keluarga dan sekolah telah mendidik anak dengan baik, tetapi masyarakat hanya menghargai yang serba instan, anak tidak akan tahan melawan arus.
"Kalau yang dipentingkan dalam masyarakat hanya yang glamor, asal keren, yang dihargai hanya selebriti, asal kaya tanpa peduli dari mana kekayaannya, maka anak tidak akan melihat pentingnya kerja keras dan berjuang. Yang penting lulus, nilai baik atau tidak bukan soal. Itulah mengapa kini banyak anak bersikap minimalis," kata Eri.
Ranie...^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar